Rabu, 26 Desember 2012

Nasik Mansukh


PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pengantar study al-Quran atau sering di sebut dengan ulumul Quran merupakan cabang dari ilmu tafsir, karena tafsir merupakan induk atau asal muasal adanya ulumul Quran.
Dalam ulumul Quran yang sering jadi perdebatan para ulama klasik adalah mengenai nasikh (mengahpus) dan mansukh (dihapus). Perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat-ayat nasikh (menghapus) dan mansukh (dihapus) dalam al-Quran yang di sebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontradiksi bila di lihat dari lahirnya. Sebgaian ulama berpendapat bahwa di antara ayat-ayat yang ada bisa di kompromikan dan ada ayat-ayat tidak bisa di kompromikan.
Oleh karena itu, para ulama ada yang setuju dengan pendapat bahwa ada ayat-ayat yang bisa di kompromikan, dan sebagian ulama setuju dengan teori nasikh menetapkan bahwa ada beberapa bentuk dan jenis nasikh yang ada di Al-Quran.
Kemudian menurut para ulama yang menerima teori nasikh mengatakan untuk me-nasikh-kan harus mengetahui syarat untuk me-nasikh-kan ayat-ayat dan ketika sudah mengetahui syarat-syaratnya dengan mudah dapat mengetahui bentuk dan jenis nasikh dan ada beberapa hikmah dengan adanya nasikh.
B.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas muncul beberapa rumusan masalah, yaitu.
1.      Apa pengertian nasikh ?
2.      Apa syarat nasikh ?
3.      Apa macam-macam dan bentuk-bentuk  nasikh ?
4.      Apa manfaat dengan adanya nasikh ?
C.   Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dari rumusan masalah diatas, yaitu.
1.      untuk mengetahui pengertian nasikh,
2.      untuk mengetahui rukun untuk me-nasikh-kan,
3.      untuk mengetahui syarat nasikh, dan
4.      untuk mengetahui dasar-dasar menetapkan nasihk.


PEMBAHASAN
A.      Pengertian Nasakh dan Mansukh
Secara etimologi, nasikh mempunyai beberapa pengertian yaitu penghilangan (izalah), penggantian (tabdil), penghubungan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sedangkan mansukh yaitu suatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan.
Adapun secara terminilogi yaitu “menghapuskan” maksud dari definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan terputusnya substansi hukum itu sendir[1]. Subhi Ash-Shalih mengartikan nasikh yaitu “mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’”. Qaththan mendefinisikannya pula “mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain”[2].
Jadi nasikh dan mansukh yaitu terhapusnya atau tergantinya dalil syara’ (mansukh) dengan dalil syara’ yang lain (nasikh).
B.       Syarat-Syarat Terjadinya Nasakh dan mansukh
Nasikh dan mansukh tidak bisa ditentukan oleh seseorang sesuai dengan kehendaknya. Namun, harus dengan syarat-syarat sebagai berikut[3].
1.   Hukum yang di-mansukh-kan itu adalah hukum syara’. Maksudnya tidak termasuk dalam kategori kajian ini pembatalan hukum ghayr as-syar’ (yang bukan hukum syara’) atau yang tidak menyangkut dengan hukum.
2.   Hukumyang terkandung pada nash an-nasikh bertentangan dengan hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh. Nashk tidak pernah ada jika makna-makna nash itu tidak bertentangan.
3.  Dalil yang di-mansukh-kan mesti muncul lebih awal dari dalil yang me-nasakh-kan, tidak boleh sebaliknya. Maka ayat al-makkiyah tidak bisa me-nasakh-kan ayat al-madaniyyah. Akan tetapi, ayat al-madaniyyah dapat me-nasikh-kan ayat al-makkiyah.
4.   Hukum yang di-nasakh-kan itu mesti hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan hukuman. Nasakh tidak terjadi pada hal-hal yang menyangkut berita. Sebab, nasikh terjadi pada ayat-ayat berita berarti telah terjadi kebohongan pada ayat yang di-nasikh-kan. Hal ini jelas mustahil.
5.  Hukum yang di-naskh-kan tidak terbatas pada waktu tertentu tetapi masti berlaku di sepanjang  waktu.
6.    Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nash al-nasikh.
7.    Status nash an-nasikh mesti sama dengan nash al-mansukh. Maka nash yang zhanni al-wurud tidak bisa me-nasakh-kan yang qath’i al-wurud. Jika ditemukan pertentangan antara keduanya, maka jelas yang dipegangi adalah nash qath’i al-wurud.
C.       Bentuk dan Jenis Nasikh Dalam Al-Quran
Berdasarkan kejelasan dan kecukupannya, nasikh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam, yaitu[4]:
1.  Nasikh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
2. Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan. keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui waktu turunya, maka ayat yang datang kemudian mengahapus ayat yang terdahulu.
3. Nasikh kully, yaitu penghapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 dihapus oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4.      Nasikh Juz’iy, yaitu pengahapusan hukum umum yang berlaku bagi individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian induvidu, atau pengahapusan hukum yang bersifat mutlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4 dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Sedangkan dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, para ulama membagi nasikh menjadi tiga macam, yaitu:
1.  Pengahapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang teergolong kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
2.      Pengahpusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
3.      Pengahapusan terhadap bacaanya saja, sedangkan hukunya tetap berlaku.
Adapun dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:
1.   Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran. Terhadap nasikh seperti ini, para ulama sepakat akan kebolehannya.
2.    Nasikh Al-Quran dengan As-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, nasikh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya berkedudukan mutawattir atau mashyur.
3.     Nasikh As-Sunnah dengan Al-Quran. Menurut mayoritas ulama ahli ushul, nasikh semacam ini benar-benar terjadi.
4.    Nasikh As-Sunnah dengan AS-Sunnah. Bagi Al-Qaththan pada dasarnya ketentuan nasikh dalam ‘ijma dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.
D.      Hikmah Keberadaan Nasikh
Dengan adanya nasikh dapat memelihara kemaslahatan makhluk.
Berkembanganya tasyri’ menuju martabat yang sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan peradaban manusia itu sendiri.
Sebagai cobaan dan ujian bagi orang mukallaf, apakah ia menunaikan perintah ataukah tidak.
Memberi kebaikan pada umat dan kemudahan dalam menunaikan ajara, karena jika nasakh itu malah semakin memberatkan maka jelas bahwa pahalanya akan bertambah pula, dan jika naskh tersebut lebih ringan maka itulah suatu kemudahan[5]. Kemudian menurut Al-Qththan[6], ada empat hikmah keberadaan ketentuan nasikh, yaitu:
1.    Menjaga kemaslahatan hamba
2. Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan peerkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.   Menguji kualitas keimanan maukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4.   Menjaga kemudahan dan kebaikan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh, berarti mengundang konsekuensi pertambahan pahala, sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
 




Kesimpulan
Nasikh dan mansukh yaitu terhapusnya atau tergantinya dalil syara’ (mansukh) dengan dalil syara’ yang lain (nasikh). Dalam me-nasakh dan me-mansukh-kan sebuah ayat harus dengan beberapa syarat yaitu:
1.       Hukum yang di-mansukh-kan itu adalah hukum syara’.
2.     Hukumyang terkandung pada nash an-nasikh bertentangan dengan hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh.
3.    Dalil yang di-mansukh-kan mesti muncul lebih awal dari dalil yang me-nasakh-kan, tidak boleh sebaliknya.
4.     Hukum yang di-nasakh-kan itu mesti hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan hukuman.
5.  Hukum yang di-naskh-kan tidak terbatas pada waktu tertentu tetapi masti berlaku di sepanjang  waktu.
6.     Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nash al-nasikh.
7.       Status nash an-nasikh mesti sama dengan nash al-mansukh.
Kemudian bentuk dan jenis nasikh dibagi berdasarkan beberapa dasar, yaitu Berdasarkan kejelasan dan kecukupannya, berdasarkan dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, dan yang terakhir berdasarkan dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nash. Adapun himah dari keberadaan Nasikh menurut Al-Qaththan, yaitu.
1.      Menjaga kemaslahatan hamba
2.   Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan peerkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.      Menguji kualitas keimanan maukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, 2006, Ulumul Quran, Pustaka Setia: Bandung
Yusuf, Kadar M, 2009, Studi ALQuran, Amza: Jakarta
Zainu, Syeikh Muhammad Jamil, 2006, Bagaimana Memahami Al-Qur’an, Pustaka Al-Kautsar: Jakarta


[1]  Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an. hal 172
[2]  Kadar M. Yusuf, Studi AlQuran. hal 114
[3]  lbd. hal 117
[4]  Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an. ha 180’
[5] Syeikh Muhammad Jamil Zainu, Bagaimana Memahami Al-Qur’an, hal 34
[6] Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, hal 186

Wawancara Swike


Teks wawancara dengan pedagang swike
Narasumber: pedagang swike
Waktu: Sabtu, 27 oktober 2012
Tempat: warung swike pasar kersana

Saya               : Assalamu’alaikum Wr.Wb
Pedagang        : Wa’alaikum salam Wr.Wb   
Saya               : Swikenya ada pak ?
Pedagang        : Ada
Saya               : Pesan satu swike dibungkus pak, terus teh manisnya minum di sini pak
Pedagang        : Ini mas pesanannya
Saya               : Dari tahun berapa bapak jualan swike ?
Pedagang        : Bapak jualan dari tahun 2005
Saya               : Ada berapa pegawai yang kerja di sini pak ?
Pedagang        : Ngga ada pegawai, Cuma berdua dengan istri saya
Saya               : Dimana bapak belanja kodok ?
Pedagang        : Bapak biasa beli kodok di pasar
Saya               : Kenapa bapak jualan swike ?.
Pedagang        : Apa mas ? ( dengan wajah kaya mencurigai seseorang )
Saya               : Ngga ko pak Cuma sekedar nanya aja.
Pedagang       : Untuk menyambung hiduplah mas, kalau ngga jualan seperti ini bagaimana anak sama istri saya mas (dengan nada keras)
Saya                : Ya udah pak, semuanya berapa ?
Pedagang         : Semuanya 7 ribu..!!
Saya                : Iya, makasih pak. Assalamua’alaikum Wr Wb
Pedagang         : Wa’alaikum salam Wr Wb

Di pusat pasar Kersana tepatnya di sebelah utara perempatan pasar kersana, disana terdapat seorang suami istri yang memberi makan anak-anaknya sehari-hari dari penghasilan meraka berjualan swike.
Mereka berjualan swike sejak 2005 sampai sekarang, kemudia pengahsilan mereka cukup lumayan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Dan yang membuat saya penasaran yaitu mengapa suami istri tersbut berjualan swijke ?, sudah jelas bahwa perbuatan mereka dilarang oleh agama.
Pengertian Swike
Ada beberapa penjual masakan baik di kota maupun di desa menggunakan bahan yang di larang oleh agama. contohnya pedagang swike, swike sendiri banyak penggemarnya dari anak kecil hingga dewasa. Pedagang swike tersebar di seluruh indonesia dan yang paling banyak di pulau jawa.
Swike adalah katak yang diolah menjadi makanan. Para pedagang swike biasanya membeli di pasar atau para pengumpul katak, Ada tiga macam masakan olahan katak, yaitu di goreng, di jadikan sayur, di pepes, dan yang terbaru sekarang adalah di jadikan kripik.
Manfaat Bagi Kesehatan
Semua makhluk yang di ciptakan Allah SWT di muka bumi ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, diantaranya katak. Katak tergolong dalam ordo Anura, yaitu golongan amfibi tanpa ekor. Pada ordo Anura terdapat lebih dari 250 genus yang terdiri dari 2600 spesies. Terdapat 4 jenis katak asli Indonesia yang di konsumsi oleh masyarakat kita yaitu:
1.      Rana Macrodon (katak hijau), yang berwarna hijau dan dihiasi totol-totol coklat
kehijauan dan tumbuh mencapai 15 cm.
2.      Rana Cancrivora (katak sawah ), hidup di sawah-sawah dan badannya dapat mencapai
10 cm, badan berbercak coklat dibadannya.
3.      Rana Limnocharis (katak rawa), mempunyai daging yang rasanya paling enak, ukurannya hanya 8 cm.
4.      Rana Musholini (katak batu atau raksasa). Hanya terdapat di Sumatera, terutama Sumatera Barat. mencapai berat 1.5 kg. Dan panjang mencapai 22 cm.
Menurut para dokter katak dapat di jadikan obat, daging katak adalah sumber protein hewani yang tinggi kandungan gizinya. Limbah katak yang tidak dipakai sebagai bahan makanan manusia dapat dipakai untuk ransum binatang ternak, seperti itik dan ayam. Kulit katak yang telah terlepas dari badannya bisa diproses menjadi kerupuk kulit katak. Kepala katak yang sudah terpisah dapat diambil kelenjar hipofisanya dan dimanfaatkan untuk merangsang katak dalam pembuahan buatan. Daging katak dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Dan para peneliti menemukan aktivitas anti biotik dari kulit katak.
Jadi katak tergolong dalam ordo anura, yaitu golongan amfibi (hidup di dua alam) tanpa ekor, kemudian manfaat katak bagi kesehatan menurut dokter dapat menyembuhkan beberapa penyakit bahkan kulit katak dapat di jadikan kripik dan anti biotik.
Pandangan Menurut Ulama
Swike adalah katak yang di olah menjadi berbagai jenis masakan, sedangkan katak dalam agama termasuk hewan yang tidak boleh di bunuh, seperti yang tertera dalam hadits:
.”والهدهد والصرد ,والضفدع ,والنحلة ,النملة”:خمسة عن نهى وسلم عليه صلى النبي الله أن
Artinya: “Bahwa Nabi SAW melarang membunuh 5 hal: semut, lebah, katak, burung suradi, dan burung hud hud” (HR. Baihaqi).
Berdasarakan hadits di atas bahwa katak tidak boleh di konsumsi karena membunuhnya di larang apa lagi mengkonsumsinya, sedangkan dalam konteks ushul fiqh “pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram ”. Menurut syariat untuk mengkonsumsi binatang salah satunya menyembelih dengan menyebut nama Allah SWT. Sementara katak tidak mungkin di sembelih karena di larang untuk di bunuh. Melihat keterangan dari hadits di atas katak tidak boleh di konsumsi.
Menurut dokter katak dapat bermanfaat bagi kesehatan salah satunya di gunakan untuk anti biotik dan untuk mengobati beberapa penyakit. Sedangkan menurut hadits yang tertera dalam buku “Nailul Authur” karangan Imam Ali As-Syaukani, yaitu :

وَسَلَّمَ عَلَيْهِ للَّهُ اصَلَّى النَّبِيُّ فَنَهَاهُ دَوَاءٍ فِي يَجْعَلُهَا ضِفْدَعٍ عَنْ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النَّبِيَّ سَأَلَ طَبِيبًا أَنَّ عُثْمَانَ بْنِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ عَنْ
قَتْلِهَا عَنْ
Artinya: “dari sahabat Abdur-Rahman bin Utsman berkata: ada seorang dokter bertanya: kepada Rasulullah SAW, tentang katak di jadikan obat, maka Rasulullah SAW melarang untuk membunuh katak” (HR. Abu Daud, dan Nasa’i).
Kemudian dalam karangannya tersebut Imam Ali As-Syaukani berkata : “bahwa larangan Rasulullah SAW untuk membunuh katak, menunjukkan di haramkannya mengkonsumsi katak” dan setiap apa yang diharamkan untuk dimakan, haram untuk di jadikan obat.
Rasulullah bersabda :
وَجَلَّ عَزَّ اللهِ بِإِذْنِ بَرَأَ, الدَّاء الدَّوَاءُ أَصَابَ فَإِذَا, دَوَاءٌ دَاءٍ لِكُلِّ
Artinya: “Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah SWT”. (HR. Muslim)
Berdasarkan keterangan di atas ulama melarang menjadikan katak sebagai obat, karena masih banyak obat yang lebih baik dari pada katak.
Melihat keterangan di atas katak tidak boleh di jadikan pratikum anatomi tubuh karena Rasulullah melarang untuk membunuh katak, kemudian di kuatkan lagi berdasarkan hadits Abdur-Rahman bin Utsman yang di riwayatkan Abu Daud dan An-Nasa’i yaitu, ketika seorang tabib bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang menjadikan katak sebagai obat maka Rasulullah SAW melarangnya.
Kemudian hasil dari memperjual belikan katak hukumya haram, sepertinya yang di nyatakan dalam hadits :
ثَمَنَهُ عَلَيهِمْ حَرَّمَ شَيءٍ أَكْلَ قَوْمٍ عَلَى حَرَّمَ إِذَا الله إنَّ
Artinya: “Sesungguhnya jika Allah SWT mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia ( Allah SWT ) akan mengharamkan hasil penjualan barang itu”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Hadits di atas menjelaskan bahwa menjual sesuatu yang di haramkan oleh Allah SWT, maka hasil dari penjualan tersebut di hukumi haram. Berarti hasil dari memperjual belikan katak di hukumi haram.

Kesimpulan
Melihat pemaparan di atas bahwa Rasulullah SAW melarang membunuh katak, membunuh katak di larang apa lagi mengkonsumsinya, karena binatang yang akan di konsumsi salah satunya menyembelih dengan menyebut nama Allah SWT. Sementara katak tidak mungkin di sembelih karena di larang untuk di bunuh.
 kemudian melihat keterangan di atas tentang di larangnya membunuh katak, maka dapat di simpulkan  katak tidak boleh di jadikan praktikum dan tidak boleh di jadikan sebagai obat. Dan di larang memperjual belikan katak.