Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Suatu kenyataan hidup bahwa manusia hidup
berdamping-dampingan antar sesamanya. Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia
bermacam-macam corak tergantung dari
berat ringannya reaksi yang diberikan dalam memberikan penilaian. Dan
berdasarkan kepada reaksi ringannya tesebut muncul suatu ketentuan hukum.
Namun, sebagian warga negara Indonesia
masih ada yanng belum mengerti tentang hukum. Contohnya Hukum Acara.
Dalam Hukum Acara mempunyai Asas dan Susunan
Keadilan yang telah tertera dalam Undang-undang. Dan dalam Undang-undang
dijelaskan juga bahwa Hukum Acara di bagi menjadi dua.
Jadi, Negara Indonesia mempunya hukum yang sangat
banyak. Namun, sebagian dari warga negara tidak mengerti apa itu hukum,
contohnya Hukum Acara. Dan dalam Hukum Acara yang ada di Indonesia mempunyai
Asas dan Susunan Keadilan dan Hukum Acara di bagi menjadi dua bagian.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas ada muncul beberapa
rumusan masalah, yaitu.
1. Apa pengertian Hukum Acara ?
2. Apakah dalam Hukum Acara terdapat Asas dan Susunan Keadilan?
3. Ada berapa macam Hukum Acara ?
1. Apa pengertian Hukum Acara ?
2. Apakah dalam Hukum Acara terdapat Asas dan Susunan Keadilan?
3. Ada berapa macam Hukum Acara ?
C.
Tujuan
Permasalahan
Ada beberaapa tujuan pembahasan, yaitu.
1. untuk
mengetahui pengertian Hukum Acara,
2. untuk
mengetahui Asas dan Susunan Keadilan yang terdapat dalam Hukum Acara, dan
3. untuk
mengetahui macam Hukum acara.
PEMABAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Acara
Ada banyak hukum di Indonesia diantaranya adalah
Hukum Acara, Hukum Acara sering disebut juga Hukum Formal.
Hukum Acara adalah kumpulan-kumpulan ketentuan-ketentuan
dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan
bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang
berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum
materiil[1].
Menurut Kansil Hukum Acara ialah Hukum Formal (Hukum
Proses atau Hukum Acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang
mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil
atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan
sesuatu perkara ke pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberi
keputusan[2].
Kemudian menurut E. Utrecht bahwa Hukum Acara adalah
Hukum yang menujukkan cara bagaimana peraturan-peraturan hukum materiil yang
dipertahankan dan diselengarakan[3]
Dan menurut Van Kan Hukum Acara atau Hukum Formal
hukum yang hanya mempunya arti turunan; ia hanya di pergunakan untuk menjamin
pelaksanaan dari kaidah-kaidah materiil yang telah ada[4].
Jadi Hukum Acara yaitu peraturan hukum yang mengatur
tentang cara bagaimana mempertahankan, menjalankan, dan melaksanakan peraturan
hukum material atau mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana
cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke pengadilan mengetahui cara-caranya
hakim memberi keputusan.
B. Asas
dan Susunan Peradilan
Dalam menyelesaikan Hakim memliki wewenang yang
bebas, artinya tidak ada lembaga negara lainnya yanng dapat ikut campur tangnan
dan mempengaruhinya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 nya menyatakan
bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan berdasarkann
Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia”. Dilihat dari
ketentuan pasaal 1 yang merupakan asas Hukum Acar Indonesia, maka secara
terarah dan ajeg kekuasaan Kehaikman yang bebas dari campur tanga kekuasaan
lembaga negara lainnya tidak berarti dapat sewenang-wenang dan absolut
menyelenggarakan tugasnya melainkan wajib memeperhatika secara benar “Perasaan
adil bangsa dan rakyat Indonesia”.
Untuk melaksanakan peradilan yang baik dan sesuai
dengan bidang permasalahan yang dihadapi Individu dalam keingingan memperoleh
keadilan dan kebenaran, maka Undang-undang Nomer 14 Tahun 1970 itu menetapkan
juga badan peradilan sebagai pelaksana. Di tetapkan secara tegas bahwa aada 4
macam peradilan, yaitu:
a)
Peradilan
Umum
b)
Peradilan
Agama
c)
Peradilan
Militer
d)
Peradilan
Tata Usaha Negara
Peradilan Umum
tugasnya mengadili perkaraa sipil (bukan militer) yang menyangkut mengenai
penyimpangan-penyimpangan dari aturan hukum perdata material dan hukum pidana
material. Peradilan Agama tugasnya mengadili perkara yang dihadapai oleh
orang-orang Islam terutama dalam bidang hukum keluarga. Peradilan Militer
tugasnya mengadili perkara yang dilakukan oleh Prajurit Indonesia khususnya
dalam tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana Militer. Peradilan Tata Usaha
Negara tuugasnya mengadili perkara atas perbuatan melawan hukum, (onrechtmatige
overheidsdaad) oleh pegawai tata usaha negara.
Proses peradilan
itu dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan, seperti halnya
dinyatakan dalaam pasal 4 ayat 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970; maksudnya
setiap perkara hendaknya disselesaikan tanpa berbelit-belit dengan menggunakan
waktu bertahun-tahun, sedangkan biayanya dapat dijangkau oleh setiap orang yang
bermaksud mencari keadilan dan kebenaran. Hakim hendaknya tidak mempersulit
jalannya proses dalam melaksanakan tugas menyelesaikan perkara dengan tanggung
jawab penuh baik kepada manusia sesamanya maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa.
C. Bentuk
Hukum Acara
Ada dua bentuk Hukum Acara, yaitu Hukum Acara Pidana
dan Hukum Acara Perdata.
1.
Pengertiaan
Hukum Acara Pidana
Hukum Acara
Pidana yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimanaa cara memelihara
dan mempertahankan Hukum Materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara-caranya mengajukan sessuatu perkara pidana ke muka pengadilan
pidan dan bagaimana caranya hakim pidana memberikan putusan[5].
Ketentuan-ketentuan
hukum acara pidana itu di tulis secara sistematik dan teratur dalam sebuah kitab Undang-Undang Hukum,
berarti dikodifikasikan dalam sebuah kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHP). Tujuan pengkodifikasian hukum acar pidana itu terutama sebagai
pengganti Reglemen Indonesia Baru (RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarkat dengan sasaran memeberikan perlindungan
kepada hak-hak asasi manusia.
Untuk melaksanakan
KUHP perlu diketahui beberapa hal penting antara lain:
a.
Asas
Praduga Tidak Bersalah ( Presumtion of Innocence)[6]
Dalam pasal 8
Undang-undang N0. 4 Tahun 1970 dinyatakan bahwa “Setiap orang disangka,
ditanngkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan didepan pengadilan, wajib
ditanggap tidak beersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang mengatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Berdasarkaan asas
praduaga tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan
tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyain kekuatan hukum
pasti dari Hakim pengadilan, maka ia masih tetap memiliki hak-hak individunya
sebagai warga negara.
Membicarakan
tentang hak-hak tersangka atau terdakwa itudalam kaitannya dengan penyelesaian
masalah yang dihadapi, makaa hak itu tidak perlu dibatasi dalam pemberian dalam
pemberian kesempatan mengadakan hubungan dengan pemberi bantuan hukum yang
dapat dilakukan secara bebas. Artinya hubungan antara tersangka dan pemberi
bantuan hukum itu dimaksudkan untuk mempersiapkan pembelaan tentu memerlukan
penjelasan melalui komunikasi.
Pemeriksaan
suatu perkara dilakukan oleh penyidik. Menurut pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa
“penyidik ialah polisi atau pejabat pegawai sipil yang diberi tugas oleh undang-undang
ini untuk penyidikan. Proses pemeriksaan dapat berjalan dengan baik kalau
tersangka melalui suatu panggilan kepolisian mau menghadap secara baik-baik.
Tetapi seringkali etiket baik seseorang yang dicurigai melakukan suatu
tindakaan pidana itu tidak ada. Dan terhadap yang terakhir ini perlu diadakan
penangkapan. Menurut pasal 16 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa penangkapan
dilakukan untuk kepentingan penyelidikan penyidik atas perintah penyidik dan
penyidik (penuntut umum) pembantu.
Ada tiga kategori
lamanya pemnahanan seseorang berdasrkan pasal 24-30 KUHP, yaitu:
1) Penahanan
dapat dilakukan oleh polisi selama 1 hari dan selama-lamanya 20 hari dan dapat
diperpanjang oleh penuntut umum (jaksa) dapat dilakukan selama 40 hari. Dan
setelah 60 hari penahanan, tersangka harus keluar dari tahanan penyidik.
2) Kalau
penahanan dilakukan oleh penuntut umum, selama-lamanya 20 hari dan dapat
diperpanjang oleh ketua pengadilan selama 30 hari. Setelah waktu 50 hari
tersanngka harus sudah keluar dari tahanan.
3) Hakim pengadilan negeri dalam kepentingannya untuk pemeriksaan (prosess persidangan)
dapat melakukan penahanan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan selama 60 hari. Setelah 90 hari lamanya penahanan, walau perkara itu
belum diputus, maka terdakwa harus sudah keluar dari tahanan.
b.
Koneksitas[7]
Perkara koneksitas yaitu tindakan pidana yang
dilakukan bersama-sam antara seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh
Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang hanya dapat di adili oleh keadailan
militer. Menurut pasal 89 ayat 1 dinyatakan bahwa “ Tindak pidana yang
dialakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan
lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Kehakiman
perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer”.
Dan kalau yanng berwenang mengaadili ada dalam lingkungan
pengadilan militer, oditur militerlah yang mengajukan tuntutannya.
c.
Pengawasan[8]
Dalam pelaksanaan putusan hukum perkara pidana dalam
tingkat pertama yang menjadi sebagai pengawas dan pengamat yaitu Ketua
Pengadilan. Dalam pasal 277 ayat 1 KUHP dinyatakan bahwa “pada setiap
pengadilan harus ada hakim yang diberri tugas khusus untuk membantu ketua dalam
melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan”.
Dan pengawas tersebut bukan untuk mengoreksi
pekerjaan para petugas pembina melainkan untuk mengetahui hasil baik yang
diperoleh para nara pidana selama menjalankan hukuman.
2.
Hukum
Perdata
Hukum Acara Perdata adalah yaitu
peeraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara-caranya memelihara dan
mempertahankan Hukum Perdata Materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara perdata kemuka Pengadilan
Perdata dan bagaimana caranya hakim perdata memberikann putusan[9].
Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata
Formal ketentuan-ketentuannya mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan
dan menjalankan peraturan hukum perdata material[10].
Perkara perdata yang diajukan untuk memperoleh
kebenaran dan keadilan wajib diselesaikan oleh Hakim. Hakim dalam menyelesaikan
perkara hendaknya berperan dengan berpegangan kepada asas-asas.
Dan asas-asas pokok hukum acara perdata yaitu ialah[11]:
a.
Hakim
Pasif
Maksudnya bahwa luas masalah yang dikemukakan dalam
sidang perkara perdata diteentukan oleh para pihak yang berpekara. Sedanngkan.
Hakim tidak diperkenankan memperluas masalah yang tidak diajukan, karena
kedudukan Hakim hanya sebagai penetap kebenaran dan keadilan para pihak. Karena
itu apa yang diajukan oleh para pihak dengan tuntutan hukum yang dikehendaki
hanya diberikan pertimbanngan oleh Hakim. Jadi untuk perkara perdata tugas
Hakim mencari kebenaran formal. Dan dalam perkembangan hukum di Indonesia sekarang
kebenaran material yang berupa saksi (sebagai bukti tidak tertulis) sudah
dijadilkan pertimbanngan Hakim juga.
b.
Mendengar
Para Pihak
Untuk memberika
pututsan dalam perkara perdata hendaknya para pihak diberi kesempatan didengar
pendapatnya. Bagi pihak yang tidak hadir (verstek) walaupun diberi kesempatan
untuk didengar dianggap tidak mau menggunakan kesempatan itu. Tetapi dalam hal
para pihak mau menggunakan kesempatan untuk didengar, maka proses persidangan
untuk perkara itu wajib diselesaikan.
Dua asas pokok
hukum acara perdata ini dalam prosesnya dapat ditempuh sebagai berikut:
- Setelah suatu gugatan dari seseoraang masuk ke Pengadilan dan di tentukan apakah dalam menyelesaikan perkara itu diperlukan Hakim Tunggal atau Majelis (perkara perdata tanpa jaksa), maka pada waktu yang ditentukan para pihak diminta kehadirannya. Terlebih dahulu pihak yang digugat (tergugat) diberi salinan gugatannya.
- Dalam sidang pertama perkaraa itu dapat ditempuh dengan lisan seluruhnya aatau melalui tulisan, setelah hakim memberikan kesempatan untuk berdamai, lebih dahulu.
- Kalau ditempuh secara lisan, maka tergugat wajib mengemukakan argumentasinya sebagai tangkisan. Kemudian terjadi debat lisan dan dalam waktu sidang berikutnya dapat diberikan keputusan.
- Sedangkan ditempuh secara tulisan, maka prosesnya diberikan kesempatan kepada tergugat menyampaikan jawaban tertulis. Dan selanjutnya setiap sidang berturut-turut Penggugat mengajukan replik, kemudain duplik dari Tergugat. Setelah itu dapat diajukan saksi-saksi dan bukti-bukti otentik atau dibawah tangan dari para pihak.
- Setelah proses itu dilalui, maka kesempatan beriktunya untuk para pihak dapat menyampaikan kesimpulan.
- Dalam sidang yang terakhir hakim mengajukan pertimbangan hukumnya yang ditutup dengan putusan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Acara yaitu peraturan hukum yang mengatur
tentang cara bagaimana mempertahankan, menjalankan, dan melaksanakan peraturan
hukum material atau mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana
cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke pengadilan mengetahui cara-caranya
hakim memberi keputusan.
Dan untuk menyelesaikan perkara Hakim memliki
wewenang yang bebas, artinya tidak ada lembaga negara lainnya yanng dapat ikut
campur tangnan dan mempengaruhinya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 nya menyatakan
bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan berdasarkann
Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia”.
Kemudian ditetapkan secara tegas bahwa ada 4 macam
peradilan, yaitu:
a)
Peradilan
Umum
b)
Peradilan
Agama
c)
Peradilan
Militer
d)
Peradilan
Tata Usaha Negara
Peradilan Umum tugasnya mengadili perkaraa sipil
(bukan militer) yang menyangkut mengenai penyimpangan-penyimpangan dari aturan
hukum perdata material dan hukum pidana material. Peradilan Agama tugasnya
mengadili perkara yang dihadapai oleh orang-orang Islam terutama dalam bidang
hukum keluarga. Peradilan Militer tugasnya mengadili perkara yang dilakukan
oleh Prajurit Indonesia khususnya dalam tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana
Militer. Peradilan Tata Usaha Negara tuugasnya mengadili perkara atas perbuatan
melawan hukum, (onrechtmatige overheidsdaad) oleh pegawai tata usaha negara.
Ada dua bentuk Hukum Acara, yaitu Hukum Acara Pidana
dan Hukum Acara Perdata.
1.
Pengertiaan
Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana yaitu peraturan-peraturan hukum
yang meengatur bagaimanaa cara memelihara dan mempertahankan Hukum Materiil
atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan
sessuatu perkara pidana ke muka pengadilan pidan dan bagaimana caranya hakim
pidana memberikan putusan.
2.
Hukum
Perdata
Hukum Acara Perdata adalah yaitu
peeraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara-caranya memelihara dan
mempertahankan Hukum Perdata Materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara perdata kemuka Pengadilan
Perdata dan bagaimana caranya hakim perdata memberikann putusan.
Daftar
pustaka
Djamali, R. Abdoel, 1996, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Soeroso, R.,1994, Praktik Hukum Acara Perdata (Tata Cara dan Proses Persidangan),
Sinar Grafika: Jakarta
Sudarsono, 1991, Pengantar
Tata Hukum Indonesia, Rinek Cipta: Jakarta
[1] R. Soeroso, Praktik Hukum Acara
Perdata (Tata Cara dan Proses Persidangan). hal 3
[2] Sudarsono, Pengantar Tata Hukum
Indonesia. hal 58
[3] Ibid, Pengantar Tata Hukum. hal
59
[4] Ibid, Pengantar Tata Hukum. hal
60
[5] Sudarsono, Pengantar Tata
Hukum. hal 59
[6] R. Abdoel Djamali, Pengantar
Hukum Indonesi. hal 178
[7] R. Abdoel djamali, pengantar
hukum Indonesia. hal 179
[8] R. Abdoel Djamali, Pengantar
hukum Indonesia. hal 182
[9] Sudarsono, pengantar Tata Hukum
Indonesia. hal 59
[10] R. Abdoel Djamali, Pengantar Tata Hukum Indonesia. hal 176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar