Minggu, 16 Desember 2012

Hukum Acara



Pendahuluan
A.      Latar Belakang
Suatu kenyataan hidup bahwa manusia hidup berdamping-dampingan antar sesamanya. Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia bermacam-macam  corak tergantung dari berat ringannya reaksi yang diberikan dalam memberikan penilaian. Dan berdasarkan kepada reaksi ringannya tesebut muncul suatu ketentuan hukum. Namun, sebagian warga negara Indonesia  masih ada yanng belum mengerti tentang hukum. Contohnya  Hukum Acara.
Dalam Hukum Acara mempunyai Asas dan Susunan Keadilan yang telah tertera dalam Undang-undang. Dan dalam Undang-undang dijelaskan juga bahwa Hukum Acara di bagi menjadi dua.
Jadi, Negara Indonesia mempunya hukum yang sangat banyak. Namun, sebagian dari warga negara tidak mengerti apa itu hukum, contohnya Hukum Acara. Dan dalam Hukum Acara yang ada di Indonesia mempunyai Asas dan Susunan Keadilan dan Hukum Acara di bagi menjadi dua bagian.
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas ada muncul beberapa rumusan masalah, yaitu.  
1.      Apa pengertian Hukum Acara ?  
2.      Apakah dalam Hukum Acara terdapat Asas dan Susunan Keadilan?  
3.      Ada berapa macam Hukum Acara ?
C.       Tujuan Permasalahan
Ada beberaapa tujuan pembahasan, yaitu.    
1. untuk mengetahui pengertian Hukum Acara,
2. untuk mengetahui Asas dan Susunan Keadilan yang terdapat dalam Hukum Acara, dan  
3. untuk mengetahui macam Hukum acara.

PEMABAHASAN
A.      Pengertian Hukum Acara
Ada banyak hukum di Indonesia diantaranya adalah Hukum Acara, Hukum Acara sering disebut juga Hukum Formal.
Hukum Acara adalah kumpulan-kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil[1].
Menurut Kansil Hukum Acara ialah Hukum Formal (Hukum Proses atau Hukum Acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberi keputusan[2].
Kemudian menurut E. Utrecht bahwa Hukum Acara adalah Hukum yang menujukkan cara bagaimana peraturan-peraturan hukum materiil yang dipertahankan dan diselengarakan[3]
Dan menurut Van Kan Hukum Acara atau Hukum Formal hukum yang hanya mempunya arti turunan; ia hanya di pergunakan untuk menjamin pelaksanaan dari kaidah-kaidah materiil yang telah ada[4].
Jadi Hukum Acara yaitu peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan, menjalankan, dan melaksanakan peraturan hukum material atau mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke pengadilan mengetahui cara-caranya hakim memberi keputusan.

B.       Asas dan Susunan Peradilan
Dalam menyelesaikan Hakim memliki wewenang yang bebas, artinya tidak ada lembaga negara lainnya yanng dapat ikut campur tangnan dan mempengaruhinya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 nya menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan berdasarkann Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia”. Dilihat dari ketentuan pasaal 1 yang merupakan asas Hukum Acar Indonesia, maka secara terarah dan ajeg kekuasaan Kehaikman yang bebas dari campur tanga kekuasaan lembaga negara lainnya tidak berarti dapat sewenang-wenang dan absolut menyelenggarakan tugasnya melainkan wajib memeperhatika secara benar “Perasaan adil bangsa dan rakyat Indonesia”.
Untuk melaksanakan peradilan yang baik dan sesuai dengan bidang permasalahan yang dihadapi Individu dalam keingingan memperoleh keadilan dan kebenaran, maka Undang-undang Nomer 14 Tahun 1970 itu menetapkan juga badan peradilan sebagai pelaksana. Di tetapkan secara tegas bahwa aada 4 macam peradilan, yaitu:
a)      Peradilan Umum
b)      Peradilan Agama
c)      Peradilan Militer
d)     Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Umum tugasnya mengadili perkaraa sipil (bukan militer) yang menyangkut mengenai penyimpangan-penyimpangan dari aturan hukum perdata material dan hukum pidana material. Peradilan Agama tugasnya mengadili perkara yang dihadapai oleh orang-orang Islam terutama dalam bidang hukum keluarga. Peradilan Militer tugasnya mengadili perkara yang dilakukan oleh Prajurit Indonesia khususnya dalam tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana Militer. Peradilan Tata Usaha Negara tuugasnya mengadili perkara atas perbuatan melawan hukum, (onrechtmatige overheidsdaad) oleh pegawai tata usaha negara.
Proses peradilan itu dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan, seperti halnya dinyatakan dalaam pasal 4 ayat 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970; maksudnya setiap perkara hendaknya disselesaikan tanpa berbelit-belit dengan menggunakan waktu bertahun-tahun, sedangkan biayanya dapat dijangkau oleh setiap orang yang bermaksud mencari keadilan dan kebenaran. Hakim hendaknya tidak mempersulit jalannya proses dalam melaksanakan tugas menyelesaikan perkara dengan tanggung jawab penuh baik kepada manusia sesamanya maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa.
C.      Bentuk Hukum Acara
Ada dua bentuk Hukum Acara, yaitu Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.
1.        Pengertiaan Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana yaitu peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimanaa cara memelihara dan mempertahankan Hukum Materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sessuatu perkara pidana ke muka pengadilan pidan dan bagaimana caranya hakim pidana memberikan putusan[5].
Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu di tulis secara sistematik dan teratur  dalam sebuah kitab Undang-Undang Hukum, berarti dikodifikasikan dalam sebuah kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Tujuan pengkodifikasian hukum acar pidana itu terutama sebagai pengganti Reglemen Indonesia Baru (RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai dengan kebutuhan masyarkat dengan sasaran memeberikan perlindungan kepada hak-hak asasi manusia.
Untuk melaksanakan KUHP perlu diketahui beberapa hal penting antara lain:
a.         Asas Praduga Tidak Bersalah ( Presumtion of Innocence)[6]
Dalam pasal 8 Undang-undang N0. 4 Tahun 1970 dinyatakan bahwa “Setiap orang disangka, ditanngkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan didepan pengadilan, wajib ditanggap tidak beersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang mengatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Berdasarkaan asas praduaga tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyain kekuatan hukum pasti dari Hakim pengadilan, maka ia masih tetap memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara.
Membicarakan tentang hak-hak tersangka atau terdakwa itudalam kaitannya dengan penyelesaian masalah yang dihadapi, makaa hak itu tidak perlu dibatasi dalam pemberian dalam pemberian kesempatan mengadakan hubungan dengan pemberi bantuan hukum yang dapat dilakukan secara bebas. Artinya hubungan antara tersangka dan pemberi bantuan hukum itu dimaksudkan untuk mempersiapkan pembelaan tentu memerlukan penjelasan melalui komunikasi.
Pemeriksaan suatu perkara dilakukan oleh penyidik. Menurut pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa “penyidik ialah polisi atau pejabat pegawai sipil yang diberi tugas oleh undang-undang ini untuk penyidikan. Proses pemeriksaan dapat berjalan dengan baik kalau tersangka melalui suatu panggilan kepolisian mau menghadap secara baik-baik. Tetapi seringkali etiket baik seseorang yang dicurigai melakukan suatu tindakaan pidana itu tidak ada. Dan terhadap yang terakhir ini perlu diadakan penangkapan. Menurut pasal 16 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyelidikan penyidik atas perintah penyidik dan penyidik (penuntut umum) pembantu.
Ada tiga kategori lamanya pemnahanan seseorang berdasrkan pasal 24-30 KUHP, yaitu:
1)       Penahanan dapat dilakukan oleh polisi selama 1 hari dan selama-lamanya 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum (jaksa) dapat dilakukan selama 40 hari. Dan setelah 60 hari penahanan, tersangka harus keluar dari tahanan penyidik.
2)      Kalau penahanan dilakukan oleh penuntut umum, selama-lamanya 20 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan selama 30 hari. Setelah waktu 50 hari tersanngka harus sudah keluar dari tahanan.
3) Hakim pengadilan negeri dalam kepentingannya untuk pemeriksaan (prosess persidangan) dapat melakukan penahanan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan selama 60 hari. Setelah 90 hari lamanya penahanan, walau perkara itu belum diputus, maka terdakwa harus sudah keluar dari tahanan.
b.        Koneksitas[7]
Perkara koneksitas yaitu tindakan pidana yang dilakukan bersama-sam antara seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang hanya dapat di adili oleh keadailan militer. Menurut pasal 89 ayat 1 dinyatakan bahwa “ Tindak pidana yang dialakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”.
Dan kalau yanng berwenang mengaadili ada dalam lingkungan pengadilan militer, oditur militerlah yang mengajukan tuntutannya.
c.         Pengawasan[8]
Dalam pelaksanaan putusan hukum perkara pidana dalam tingkat pertama yang menjadi sebagai pengawas dan pengamat yaitu Ketua Pengadilan. Dalam pasal 277 ayat 1 KUHP dinyatakan bahwa “pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberri tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap  putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan”.
Dan pengawas tersebut bukan untuk mengoreksi pekerjaan para petugas pembina melainkan untuk mengetahui hasil baik yang diperoleh para nara pidana selama menjalankan hukuman.
2.        Hukum Perdata
Hukum Acara Perdata adalah yaitu peeraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara-caranya memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara perdata kemuka Pengadilan Perdata dan bagaimana caranya hakim perdata memberikann putusan[9].
Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal ketentuan-ketentuannya mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum perdata material[10].
Perkara perdata yang diajukan untuk memperoleh kebenaran dan keadilan wajib diselesaikan oleh Hakim. Hakim dalam menyelesaikan perkara hendaknya berperan dengan berpegangan kepada asas-asas.
Dan asas-asas pokok hukum acara perdata yaitu ialah[11]:
a.    Hakim Pasif
Maksudnya bahwa luas masalah yang dikemukakan dalam sidang perkara perdata diteentukan oleh para pihak yang berpekara. Sedanngkan. Hakim tidak diperkenankan memperluas masalah yang tidak diajukan, karena kedudukan Hakim hanya sebagai penetap kebenaran dan keadilan para pihak. Karena itu apa yang diajukan oleh para pihak dengan tuntutan hukum yang dikehendaki hanya diberikan pertimbanngan oleh Hakim. Jadi untuk perkara perdata tugas Hakim mencari kebenaran formal. Dan dalam perkembangan hukum di Indonesia sekarang kebenaran material yang berupa saksi (sebagai bukti tidak tertulis) sudah dijadilkan pertimbanngan Hakim juga.
b.    Mendengar Para Pihak
Untuk memberika pututsan dalam perkara perdata hendaknya para pihak diberi kesempatan didengar pendapatnya. Bagi pihak yang tidak hadir (verstek) walaupun diberi kesempatan untuk didengar dianggap tidak mau menggunakan kesempatan itu. Tetapi dalam hal para pihak mau menggunakan kesempatan untuk didengar, maka proses persidangan untuk perkara itu wajib diselesaikan.
Dua asas pokok hukum acara perdata ini dalam prosesnya dapat ditempuh sebagai berikut:  
  1. Setelah suatu gugatan dari seseoraang masuk ke Pengadilan dan di tentukan apakah dalam menyelesaikan perkara itu diperlukan Hakim Tunggal atau Majelis (perkara perdata tanpa jaksa), maka pada waktu yang ditentukan para pihak diminta kehadirannya. Terlebih dahulu pihak yang digugat (tergugat) diberi salinan gugatannya.
  2. Dalam sidang pertama perkaraa itu dapat ditempuh dengan lisan seluruhnya aatau melalui tulisan, setelah hakim memberikan kesempatan untuk berdamai, lebih dahulu.
  3. Kalau ditempuh secara lisan, maka tergugat wajib mengemukakan argumentasinya sebagai tangkisan. Kemudian terjadi debat lisan dan dalam waktu sidang berikutnya dapat diberikan keputusan.
  4. Sedangkan ditempuh secara tulisan, maka prosesnya diberikan kesempatan kepada tergugat menyampaikan jawaban tertulis. Dan selanjutnya setiap sidang berturut-turut Penggugat mengajukan replik, kemudain duplik dari Tergugat. Setelah itu dapat diajukan saksi-saksi dan bukti-bukti otentik atau dibawah tangan dari para pihak.  
  5. Setelah proses itu dilalui, maka kesempatan beriktunya untuk para pihak dapat menyampaikan kesimpulan. 
  6. Dalam sidang yang terakhir hakim mengajukan pertimbangan hukumnya yang ditutup dengan putusan.



PENUTUP
A.     Kesimpulan
Hukum Acara yaitu peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan, menjalankan, dan melaksanakan peraturan hukum material atau mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke pengadilan mengetahui cara-caranya hakim memberi keputusan.
Dan untuk menyelesaikan perkara Hakim memliki wewenang yang bebas, artinya tidak ada lembaga negara lainnya yanng dapat ikut campur tangnan dan mempengaruhinya. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 nya menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan berdasarkann Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia”.
Kemudian ditetapkan secara tegas bahwa ada 4 macam peradilan, yaitu:
a)      Peradilan Umum
b)      Peradilan Agama
c)      Peradilan Militer
d)     Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Umum tugasnya mengadili perkaraa sipil (bukan militer) yang menyangkut mengenai penyimpangan-penyimpangan dari aturan hukum perdata material dan hukum pidana material. Peradilan Agama tugasnya mengadili perkara yang dihadapai oleh orang-orang Islam terutama dalam bidang hukum keluarga. Peradilan Militer tugasnya mengadili perkara yang dilakukan oleh Prajurit Indonesia khususnya dalam tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana Militer. Peradilan Tata Usaha Negara tuugasnya mengadili perkara atas perbuatan melawan hukum, (onrechtmatige overheidsdaad) oleh pegawai tata usaha negara.
Ada dua bentuk Hukum Acara, yaitu Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.
1.        Pengertiaan Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana yaitu peraturan-peraturan hukum yang meengatur bagaimanaa cara memelihara dan mempertahankan Hukum Materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sessuatu perkara pidana ke muka pengadilan pidan dan bagaimana caranya hakim pidana memberikan putusan.
2.        Hukum Perdata
Hukum Acara Perdata adalah yaitu peeraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara-caranya memelihara dan mempertahankan Hukum Perdata Materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara perdata kemuka Pengadilan Perdata dan bagaimana caranya hakim perdata memberikann putusan.


 
Daftar pustaka
Djamali, R. Abdoel, 1996, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Soeroso, R.,1994, Praktik Hukum Acara Perdata (Tata Cara dan Proses Persidangan), Sinar Grafika: Jakarta
Sudarsono, 1991, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rinek Cipta: Jakarta


[1]  R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata (Tata Cara dan Proses Persidangan). hal 3
[2]  Sudarsono, Pengantar Tata Hukum Indonesia. hal 58
[3]  Ibid, Pengantar Tata Hukum. hal 59
[4]  Ibid, Pengantar Tata Hukum. hal 60
[5]  Sudarsono, Pengantar Tata Hukum. hal 59
[6]  R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesi. hal 178
[7]  R. Abdoel djamali, pengantar hukum Indonesia. hal 179
[8]  R. Abdoel Djamali, Pengantar hukum Indonesia. hal 182
[9]  Sudarsono, pengantar Tata Hukum Indonesia. hal 59
[10] R. Abdoel Djamali, Pengantar Tata Hukum Indonesia. hal 176
[11] R. Abdoel Djamali, Pengantar Tata Hukum Indonesia. hal 177

Tidak ada komentar:

Posting Komentar