PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengantar study al-Quran atau sering di sebut dengan ulumul Quran merupakan cabang dari ilmu tafsir, karena tafsir merupakan induk atau asal muasal adanya ulumul Quran.Dalam ulumul Quran yang sering jadi perdebatan para ulama klasik adalah mengenai nasikh (mengahpus) dan mansukh (dihapus). Perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat-ayat nasikh (menghapus) dan mansukh (dihapus) dalam al-Quran yang di sebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontradiksi bila di lihat dari lahirnya. Sebgaian ulama berpendapat bahwa di antara ayat-ayat yang ada bisa di kompromikan dan ada ayat-ayat tidak bisa di kompromikan.Oleh karena itu, para ulama ada yang setuju dengan pendapat bahwa ada ayat-ayat yang bisa di kompromikan, dan sebagian ulama setuju dengan teori nasikh menetapkan bahwa ada beberapa bentuk dan jenis nasikh yang ada di Al-Quran.Kemudian menurut para ulama yang menerima teori nasikh mengatakan untuk me-nasikh-kan harus mengetahui syarat untuk me-nasikh-kan ayat-ayat dan ketika sudah mengetahui syarat-syaratnya dengan mudah dapat mengetahui bentuk dan jenis nasikh dan ada beberapa hikmah dengan adanya nasikh.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas muncul beberapa rumusan
masalah, yaitu.
1.
Apa
pengertian nasikh ?
2.
Apa
syarat nasikh ?
3.
Apa
macam-macam dan bentuk-bentuk nasikh ?
4.
Apa
manfaat dengan adanya nasikh ?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dari rumusan masalah diatas,
yaitu.
1.
untuk
mengetahui pengertian nasikh,
2.
untuk
mengetahui rukun untuk me-nasikh-kan,
3.
untuk
mengetahui syarat nasikh, dan
4.
untuk
mengetahui dasar-dasar menetapkan nasihk.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nasakh dan Mansukh
Secara
etimologi, nasikh mempunyai beberapa
pengertian yaitu penghilangan (izalah),
penggantian (tabdil), penghubungan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sedangkan mansukh yaitu suatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan
dipindahkan.
Adapun
secara terminilogi yaitu “menghapuskan” maksud dari definisi tersebut adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf dan bukan
terputusnya substansi hukum itu sendir[1].
Subhi Ash-Shalih mengartikan nasikh
yaitu “mengangkat hukum syara’ dengan
dalil syara’”. Qaththan mendefinisikannya
pula “mengangkat hukum syara’ dengan dalil
syara’ yang lain”[2].
Jadi
nasikh dan mansukh yaitu terhapusnya atau tergantinya dalil syara’ (mansukh) dengan dalil syara’
yang lain (nasikh).
B. Syarat-Syarat
Terjadinya Nasakh dan mansukh
Nasikh
dan mansukh tidak bisa ditentukan
oleh seseorang sesuai dengan kehendaknya. Namun, harus dengan syarat-syarat
sebagai berikut[3].
1. Hukum
yang di-mansukh-kan itu adalah hukum syara’. Maksudnya tidak termasuk dalam
kategori kajian ini pembatalan hukum ghayr
as-syar’ (yang bukan hukum syara’)
atau yang tidak menyangkut dengan hukum.
2. Hukumyang
terkandung pada nash an-nasikh
bertentangan dengan hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh. Nashk tidak pernah ada jika makna-makna nash itu tidak
bertentangan.
3. Dalil
yang di-mansukh-kan mesti muncul
lebih awal dari dalil yang me-nasakh-kan,
tidak boleh sebaliknya. Maka ayat al-makkiyah
tidak bisa me-nasakh-kan ayat al-madaniyyah. Akan tetapi, ayat al-madaniyyah dapat me-nasikh-kan ayat al-makkiyah.
4. Hukum
yang di-nasakh-kan itu mesti hal-hal
yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan hukuman. Nasakh tidak terjadi pada hal-hal yang menyangkut berita. Sebab, nasikh terjadi pada ayat-ayat berita
berarti telah terjadi kebohongan pada ayat yang di-nasikh-kan. Hal ini jelas mustahil.
5. Hukum
yang di-naskh-kan tidak terbatas pada waktu tertentu tetapi masti berlaku
di sepanjang waktu.
6. Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum
munculnya nash al-nasikh.
7. Status nash an-nasikh mesti sama dengan nash al-mansukh. Maka nash yang zhanni al-wurud tidak bisa me-nasakh-kan
yang qath’i al-wurud. Jika ditemukan
pertentangan antara keduanya, maka jelas yang dipegangi adalah nash qath’i al-wurud.
C. Bentuk
dan Jenis Nasikh Dalam Al-Quran
Berdasarkan
kejelasan dan kecukupannya, nasikh
dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam, yaitu[4]:
1. Nasikh
Sharih, yaitu ayat yang secara jelas
menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
2. Nasikh
dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan
tidak dikompromikan. keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan
diketahui waktu turunya, maka ayat yang datang kemudian mengahapus ayat yang
terdahulu.
3. Nasikh
kully, yaitu penghapusan hukum
sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan iddah empat bulan sepuluh
hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 dihapus oleh ketentuan ‘iddah satu tahun
pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4. Nasikh
Juz’iy, yaitu pengahapusan hukum umum
yang berlaku bagi individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian
induvidu, atau pengahapusan hukum yang bersifat mutlaq dengan hukum yang muqayyad.
Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa
adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4 dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu
bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat
yang sama.
Sedangkan
dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, para ulama membagi nasikh menjadi tiga macam, yaitu:
1. Pengahapusan
terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang teergolong kategori
ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
2. Pengahpusan
terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada.
3. Pengahapusan
terhadap bacaanya saja, sedangkan hukunya tetap berlaku.
Adapun dari sisi otoritas yang lebih
berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:
1. Nasikh
Al-Quran dengan Al-Quran. Terhadap nasikh
seperti ini, para ulama sepakat akan kebolehannya.
2. Nasikh
Al-Quran dengan As-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, nasikh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya
berkedudukan mutawattir atau mashyur.
3. Nasikh
As-Sunnah dengan Al-Quran. Menurut mayoritas ulama ahli ushul, nasikh semacam ini benar-benar terjadi.
4. Nasikh
As-Sunnah dengan AS-Sunnah. Bagi Al-Qaththan pada dasarnya ketentuan nasikh dalam ‘ijma dan qiyas itu tidak
ada dan tidak diperkenankan.
D. Hikmah
Keberadaan Nasikh
Dengan
adanya nasikh dapat memelihara
kemaslahatan makhluk.
Berkembanganya
tasyri’ menuju martabat yang sempurna
sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan peradaban manusia itu
sendiri.
Sebagai cobaan dan
ujian bagi orang mukallaf, apakah ia menunaikan perintah ataukah tidak.
Memberi
kebaikan pada umat dan kemudahan dalam menunaikan ajara, karena jika nasakh itu malah semakin memberatkan
maka jelas bahwa pahalanya akan bertambah pula, dan jika naskh tersebut lebih
ringan maka itulah suatu kemudahan[5]. Kemudian
menurut Al-Qththan[6],
ada empat hikmah keberadaan ketentuan nasikh,
yaitu:
1. Menjaga
kemaslahatan hamba
2. Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada
tingkat kesempurnaan, seiring dengan peerkembangan dakwah dan kondisi manusia
itu sendiri.
3. Menguji
kualitas keimanan maukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4. Menjaga
kemudahan dan kebaikan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh, berarti mengundang konsekuensi pertambahan pahala,
sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh
lebih mudah dari pada ketentuan mansukh,
itu berarti kemudahan bagi umat.
Kesimpulan
Nasikh
dan mansukh yaitu terhapusnya atau
tergantinya dalil syara’ (mansukh) dengan dalil syara’ yang lain (nasikh). Dalam me-nasakh
dan me-mansukh-kan sebuah ayat harus
dengan beberapa syarat yaitu:
1. Hukum yang di-mansukh-kan itu adalah hukum syara’.
2. Hukumyang
terkandung pada nash an-nasikh
bertentangan dengan hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh.
3. Dalil yang di-mansukh-kan mesti muncul lebih awal dari
dalil yang me-nasakh-kan, tidak boleh
sebaliknya.
4. Hukum yang di-nasakh-kan itu mesti hal-hal yang
menyangkut dengan perintah, larangan, dan hukuman.
5. Hukum yang
di-naskh-kan tidak terbatas pada waktu tertentu tetapi masti berlaku
di sepanjang waktu.
6. Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum
munculnya nash al-nasikh.
7.
Status nash an-nasikh mesti sama dengan nash al-mansukh.
Kemudian bentuk dan jenis nasikh dibagi berdasarkan beberapa
dasar, yaitu Berdasarkan kejelasan dan kecukupannya, berdasarkan dilihat dari
segi bacaan dan hukumnya, dan yang terakhir berdasarkan dari sisi otoritas yang
lebih berhak menghapus sebuah nash. Adapun himah dari keberadaan Nasikh menurut Al-Qaththan, yaitu.
1. Menjaga
kemaslahatan hamba
2. Mengembangkan
pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan
peerkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji
kualitas keimanan maukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, 2006, Ulumul Quran, Pustaka Setia: Bandung
Yusuf, Kadar M, 2009, Studi ALQuran, Amza: Jakarta
Zainu, Syeikh Muhammad Jamil, 2006, Bagaimana Memahami Al-Qur’an, Pustaka
Al-Kautsar: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar